Bea masuk yang dikenakan pada kertas karton duplex dengan HS 4210.9200, awalnya sebesar 25 persen. Pakistan lalu menerapkan bea tambahan yang disebut regulatory duty sebesar 40 persen pada 2009.
"Kertas karton yang masuk Pakistan dikenai bea hingga 51 persen," kata Ketua Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia, Muhammad Mansur, ketika dihubungi, Rabu (13/4) malam. Outbound malang
Belakangan, otoritas perdagangan Pakistan juga mengenakan bea masuk antidumping pada kertas Indonesia sebesar 11 persen. Akibat bea yang terlalu tinggi, ekspor kertas karton duplex Indonesia yang bisa mencapai US$ 70 juta setahun mulai berkurang pada 2009. "Tapi, tahun lalu, Indonesia sudah tidak ekspor lagi ke Pakistan," ujarnya.
Sebab, importir di Pakistan tidak mau membayar bea sebesar itu. Pengusaha Pakistan lebih memilih produk kertas asal Cina yang bea masuknya lebih murah, yaitu 17 persen. "Karena Cina dan Pakistan sudah punya perjanjian kerjasama perdagangan, Preferential Trade Agreement (PTA)," kata dia.
Mansyur berharap, pemerintah segera menuntaskan perundingan perjanjian kerjasama perdagangan, PTA dengan Pakistan. Sebab, jika perjanjian sudah ditandatangani, bea masuk kertas karton bisa turun di bawah 17 persen. Sehingga produk Indonesia bisa bersaing dengan barang Cina.
Direktur Kerjasama Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan, Gusmardi Bustami mengatakan mandeknya perundingan PTA salah satunya karena Pakistan meminta tambahan mata tarif untuk dapat diberi keringanan bea masuk. "Tambahan 61 mata tarif diantaranya untuk tembakau, rokok, baja," ujarnya.
Eka Utami Aprilia